Aku lupa, aku pernah mencumbui senja pekat itu bersamamu.
Meneguk setiap tetes bualan yang ia hadirkan kala itu.
Jika bisa disebut nikmat, aku akan memanggilnya begitu.
Namun sayang, senja waktu itu tak indah sama sekali untuk di adu.
Percayalah! Aku masih mendekor dengan sempurna momen senja itu.
Menghiasi setiap dindingnya dengan renda-renda mengkilat yang menderu.
Memasang neon-neon yang sebenarnya sama sekali tak pernah menyala.
Toh, walau begitu senja kala itu memang tak pernah mengakui keberadaanya.
Apa lagi? Apa lagi yang perlu kau tau tentang senja yang kita tinggalkan di sana?
Apa lagi yang kau harapkan? Pekatnya benar-benar lekat, serat akan noda-noda.
Sejenak, ku garap sepasang bola mataku untuk menelisiknya sekali lagi.
Benar-benar sunyi, tak ada tanda-tanda pernah ada kehidupan sama sekali.
Ku susuri ulang setiap incinya di sumur usang yang pernah ku gali.
Culas, aku hanya mendapati seonggok manusia yang di pantulkan air di permukaannya, bayangku sendiri.
Tampak konyol, sampai-sampai aku tak pernah menyadari.
Senja pekat itu ciptaanku sendiri, kebodohan masa lalu yang terulangi.
Kenyataan itu menohokku telak, aku tak patut di kasihani.
Menyakitkan memang, tapi nyatanya aku masih mampu bangkit untuk berdiri.
Bukan, senja pekat itu sama sekali bukan ilusi, tidak sama sekali.
Aku tak pernah bisa memintanya pergi, angkat kaki ataupun undur diri.
Aku memilih berdamai dan menyalami kalutnya hati.
Aku belum lagi mati, masih kuat untuk berlari.
By
Sopi